Wednesday, February 28, 2007

Rotan dan Rantai Ekonomi Daerah

Berikut adalah kutipan berita Media Indonesia tertanggal Rabu, 14 Februari 2007 yang isinya adalah sebagai berikut :

"Pemerintah akan melarang ekspor rotan pada tahun ini guna meningkatkan nilai tambahnya di dalam negeri dan menjadikan produk berbasis rotan sebagai keunggulan produk ekspor Indonesia.

Hal itu diisyarakatkan oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris di Jakarta, Rabu (14/2), menanggapi pertanyaan apakah ekspor rotan kelak akan dihentikan."

Apakah ini solusi yang tepat ?

Jawabannya mungkin iya mungkin juga tidak, kenapa ..? Mari bahas satu persatu lihat nilai positif dan negatif dari keputusan pemerintah ini.

Industri Rotan di Cirebon sudah berkembang cukup lama dan berusia puluhan tahun, dalam sejarahnya sejak dulu bahan baku rotan memang sudah boleh di ekspor. Ketika keluar SK Menteri Perdagangan No.274/Kp/XI/1986 sejak saat itu bahan baku rotan mentah (asalan) dilarang untuk di ekspor, lalu menyusul SK Menteri Perdagangan No.190/Kpts/VI/1988 tentang pelarangan ekspor rotan setengah jadi. Apa yang terjadi mulai saat itu ? Berbagai kalangan pengusaha mulai merintis industri kerajinan dan mebel rotan, muncul sentra-sentra industri rotan di Indonesia termasuk di wilayah Cirebon. Pengusaha baru sekaligus eksportir rotan bermunculan disana sini sehingga mendongkrak nilai ekspor produk jadi rotan. Namun disisi lain terjadi kejenuhan pasar akibat pelarangan ekspor bahan mentah (asalan) dan setengah jadi ke pasar luar negeri, mengakibatkan harga di tingkat petani merosot dengan tajam. Terjadi kelebihan pasokan bahan baku rotan di pasar domestik, jelasnya petani menderita. Lalu jaman bergulir, orde reformasi mengubah hampir semua aturan-aturan yang dulu berlaku pada saat orde baru, termasuk tentang bahan baku rotan. melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 kran ekspor bahan baku rotan mentah kembali dibuka dengan maksud untuk menstabilkan harga dan menghilangkan kelebihan pasokan bahan baku rotan di pasar domestik, saat inilah perlahan harga rotan mentah (asalan) di tingkat petani mulai merangkak naik sedang ditingkat pengusaha ketika nilai dolar berada pada posisi puncak, pengusaha rotan masih menikmati keuntungan yang berlebih. Namun ketika nilai tukar dolar berangsur mengalami penurunan ke tingkat yang stabil mulailah keluhan muncul. Harga bahan baku naik, Pesaing mulai bermunculan seperti China dan Vietnam yang mulai melirik peluang bisnis ini. Berbekal bahan baku yang di impor melalui Singapura China dan Vietnam mulai mengambil sedikit demi sedikit porsi pasar produk rotan yang dari dulu selalu dikuasai oleh Indonesia.

Bagaimana dengan di Cirebon ? Tentu saja permasalahan ini juga menjadi perhatian serius dan memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Cirebon yang notabene bukan daerah penghasil rotan asalan harus membeli dari daerah lain yang berada di luar pulau Jawa. Industri Rotan yang berpusat di Kabupaten Cirebon terutama di kecamatan Plumbon mengalami perubahan peta produksi yang sangat signifikan. Beberapa pabrik insudtri rotan mengalami penurunan produksi akibat persaingan dari pihak Vietman dan China yang ternyata sanggup menyaingi harga jual produk rotan dari Indonesia terutama Cirebon, bebepara industri yang kalah bersaing bahkan ada yang menutup sementara produksi untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.

Dari kejadian ini berdampak pula terhadap tenaga kerja dan beberapa kalangan yang terkait langsung dengan industri satu ini, selain menambah jumlah pengangguran akibat pengurangan tenaga kerja ataupun tutupnya pabrik-pabrik rotan yang merupakan industri padat karya, generasi muda kita yang mulai masuk usia bekerja pun mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Masyarakat yang tergantung pada kelangsungan hidup industri rotan seperti warung makan dan minuman juga toko-toko penjual peralatan kerja bagi tenaga kerja mengalami pengurangan pendapatan sehingga menurunkan daya beli dan kemampuan konsumsi di kawasan tersebut, pusat-pusat ekonomi dikawasan sekitar industri rotan contohnya Pasar juga merasakan akibat langsungnya, mereka kehilangan beberapa konsumen tetap yang dulunya selalu mengkonsumsi produk-produk yang mereka jual seperti pakaian, perlengkapan hiburan seperti barang elektronik dari HP sampai Televisi tak luput dari pengaruh ini bahkan perhiasan dan produk kendaraan pun juga ikut merasakan dampaknya.

Masyarakat saat ini hanya memikirkan kebutuhan pokok saja dan mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak begitu penting. Itu pun terkadang masih kekurangan karena pekerjaan sudah sangat sulit didapatkan.

Akhirnya, efektifkah rencana pemerintah menutup kran ekspor bahan baku rotan untuk menyikapi kondisi seperti ini ?

Iya kalau hanya melihat dampak luas yang timbul bila industri penting seperti rotan ini ambruk secara perlahan. Tapi bagaimana nasib Petani ? bila ekspor rotan di kembalikan seperti kondisi tahun 1986 niscaya harga di tingkat petani akan berangsur turun mungkin bisa lebih parah dari tahun-tahun yang lalu karena pengusaha semakin berkuasa untuk menentukan harga beli bahan baku yang mereka butuhkan dengan alasan adanya kenaikan sektor Upah tenaga kerja dan tarif dasar listrik yang semakin tidak terjangkau kalangan pengusaha.

Mari kita berfikir secara rasional. Logikanya negara China dan Vietnam yang notabene juga tidak menghasilkan rotan asalan, tentunya dalam produksinya membutuhkan rotan asalan harus diimpor dari Indonesia, walaupun tingkat upah disana yang katanya dikatakan masih lebih murah dari Indonesia tetapi pada kenyataannya dapat mereka dapat menghasilkan produk-produk yang memiliki daya saing kuat baik dari segi harga ataupun kualitas produknya. Seharusnya dari sini kita belajar, saat dihadapkan pada permasalahan bahan baku yang mulai mahal seharusnya tenaga-tenaga kerja kitalah yang menyadari bahwa produk mereka haruslah lebih baik agar bisa menyaingi produk China dan Vietnam. Terlepas apakah mereka menggunakan politik dumping ataukah tidak untuk produk mereka.


Jadi solusi yang tepat mungkin adalah perbaikan sektor kualitas dari produk rotan kita. Lihat jepang, mereka bisa menghasilkan mobil berharga ratusan juta rupiah dari berbekal onggokan besi, karet, plastik dan kain yang barangkali kalau dalam bentuk mentah hanya berharga jutaan. Perbaikan kualitan adalah jawaban yang tepat untuk keluar dari permasalahan ini, bila kita bisa menghasilkan suatu produk dengan nilai jual yang tinggi (bukan asal murah) tentunya tak akan ada yang di rugikan. Pihak pembeli (buyer) luar negeripun masih mau membeli produk kerajinan rotan kita karena mereka merasa harga yang dibayarkan sesuai dengan kualitas yang didapatkan. Jangan lagi kita yang di dikte oleh pasar ataupun buyer.

Bagaimana hal ini bisa terwujud ? Kerjasama adalah kuncinya. Pemerintah daerah dan para pengusaha harus mulai mengembangkan kerjasama terutama dalam usaha meningkatkan kualitas produk. Balai-balai penelitian dan pelatihan tentang rotan sudah saatnya di bangun. Inovasi-inovasi tentang produk sudah saatnya jangan di lirik sebelah mata. Peraturan-peraturan daerah pun sudah sepatutnya mendukung industri rotan tanpa juga mengorbankan hak-hak tenaga kerja yang bersangkutan.

Dapatkan semua di wujudkan ? jawabnya kembali ke masing-masing pihak yang terkait.

Sunday, February 4, 2007

Pengaturan Aliran Air Di Tengah Kota

Awal tahun 2007 tepatnya awal bulan Februari ibukota negara Indonesia yaitu DKI Jakarta dilanda banjir besar yang mengakibatkan beberapa infrastruktur penting mengalami kelumpuhan atau tidak berfungsi sama sekali. Dampak yang nyata tentunya dirasakan oleh warga Jakarta dimana dilaporkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu, sehingga untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, mencuci ataupun yang lain tidak mungkin lagi dilakukan karena ketinggian air tergolong parah bahkan ada yang mencapai 3-4 Meter. Bila melihat dari pengalamam yang ada, beberapa faktor yang sangat berpengaruh adalah akan terjadinya banjir di Jakarta adalah : pertama daratan di Jakarta termasuk daratan yang rendah bahkan beberapa tempat memiliki ketinggian di bawah permukaan laut, Kedua Jakarta dilewati 13 aliran sungai besar dan kecil yang memiliki kondisi sebagian besar tercemar oleh limbah rumah tangga dan industri terutama sampah padat, ketiga problema pemukiman disekitar daerah aliran sungai yang dari tahun ke tahun tidak pernah terselesaikan, keempat Kurangnya daerah resapan air untuk kawasan kota Jakarta yang menurut beberapa artikel menyebutkan Jakarta hanya memiliki 6% dari wilayahnya yang merupakan lahan hijau sehingga faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya banjir. Masih banyak lagi masalah-masalah lain yang menjadi faktor penyebab terjadinya banjir salahsatunya memang iklim dunia juga mendukung terjadinya limpahan curah hujan dan pencairan kutub akibat pemanasan global.

Dari hal ini bisalah kita buat sebagai pelajaran bahwa penataan kota apalagi kota besar seperti Jakarta sangat dibutuhkah kecermatan dalam pembagian wilayah sesuai dengan fungsinya, Kota seperti Jakarta seyogyanya memiliki sarana saluran dan penampungan air yang lebih baik dari sekarang, dan bila kita melihat usia jakarta yang sudah ratusan tahun ternyata pengalaman hanyalah akan menjadi catatan sejarah kalau kita tidak pernah belajar dari pengalaman itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan kota-kota lain di daerah ??

Sebagian besar ibukota Propinsi dan kota-kota besar di wilayah Indonesia ini adalah merupakan kota pantai sebagai contoh Kota Surabaya, Semarang, Pontianak, Padang, Manado dan yang lainnya termasuk diantaranya Cirebon, Tegal, Tuban, Gresik dan kota-kota lainnya di luar Jawa, artinya sudah jelas sebagian besar dari kota kota tersebut berada di dataran rendah yang umumnya rawan akan banjir. Sudah sebaiknya para pimpinan daerah tersebut melihat Jakarta sebagai contoh yang nyata bahwa penanganan kota bukan lah hal yang sepele, tidak hanya dengan memisahkan area pemukiman dengan industri, ataupun menghindarkan area pertanian dengan area yang berpotensi menghasilkan limbah yang berpengaruh kedalam area pertanian. Namun lebih dari itu, sudah seharusnya kita mulai memikirkan jalur-jalur lintasan air. Manajemen pengaturan aliran air ini bukanlah hal yang mudah tentunya, tapi bukan pula sesuatu hal yang tidak mungkin. Kita tengok kota-kota di Eropa, sebagian besar negara-negara di Eropa adalah negara yang di aliri sungai dan berada pada ketinggian yang rendah bahkan Belanda sebagian merupakan daratan dengan ketinggaian di bawah permukaan air laut.

Saat sekarang kota selain Jakarta masih relatif lebih kecil dari skala luas maupun jumlah penduduknya kecuali Surabaya. tapi bukan berarti kita bisa bersantai-santai dengan kondisi ini, justru disaat perkembangan kota masih relatif terpantau maka perlu adanya pemikiran-pemikiran jauh kedepan. Bagaimana kota akan dikembangkan lebih jauh sehingga dari sekarang disiapkan jalur-jalur aliran air dari hujan, limbah rumah tangga ataupun industri, dan bahkan limpahan air sungai dari daerah pegunungan atau hulu sungai. Perlu juga disiapkan daerah resapan air di tengah kota sehinggakelak tidak perlu diadakan penggusuran-penggusuran yang mungkin akan lebih sulit penanganannya di banding kalau kita laksanakan sekarang.

Bagaimana dengan Dananya ?

Pertanyaan klasik yang sering diutarakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Memang benar Indonesia bukan negara kaya itu kalau di lihat secara sosial penduduknya, pendapatan di daerah terkadang tidak sebesar kebutuhan yang diperlukan daerah tersebut dalam melaksanakan pelayanan-pelayan terhadap masyarakat. Tapi apabila para pemimpin bisa aktif memikirkan hal ini masih banyak kemungkinan solusi-solusi yang bisa didapatkan. Banyak sarjana-sarjana ataupun pemikir-pemikir berbakat di daerah, ide merekalah yang perlu kita perhatikan, perlu juga dirangkul pengusaha-pengusaha juga pelaku perdagangan di wilayah bersangkutan, toh semua itu demi kelancaran mereka. atau bahkan bila diperlukan kita berikan beasiswa untuk mengirim pemuda-pemuda yang berpotensi ke luar negeri untuk belajar tentang penataan kota terutama masalah penanganan air.

Jadi pada akhirnya adalah semua tergantung Pemimpin dan bagaimana pemimpin itu merangkul masyarakatnya untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan penataan kota.