Friday, April 20, 2007

ACI - Aku Cinta Indonesia

indonesia .... pernahkah kita tahu arti sebenarnya indonesia itu. coba tanyakan kepada anak-anak SMU atau bahkan mahasiswa yang masih kuliah dan hobi demo itu, berapa persenkah dari mereka yang tahu dengan pasti arti sebenarnya dari kata-kata INDONESIA itu sendiri.

Itu baru dari sekedar mengetahui arti kata INDONESIA, lalu bagaimana dengan perasaan kita ?
sebesar apakah cinta kita terhadap negeri kita ini ?
sebesar cinta kita kepada pacar kita sendirikah ?? atau ....

Ada sebuah komik yang gue baca beberapa hari yang lalu. Nama komik itu YUGO The Negosiator, dan dalam episode 3 sampai dengan 5 mengilhami gue tentang arti sebuah perasaan cinta ... bukan cinta terhadap orang lain, tapi cinta terhadap negeri kita sendiri. Mungkin sebuah penggambaran yang cukup "mirip" dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Tapi gue nggak mau ngomong masalah politik yah. Lebih kepada rasa cinta kita kepada negara kita.

Kalau kita polling kepada semua warga negara indonesia, gue yakin sebagian besar pasti akan berkata "Yah, saya cinta indonesia !!", namun menurut pengalaman gue, rasa cinta bagi sebagian besar orang indonesia lebih diartikan sebagai Rasa Nasionalisme terhadap negaranya "hanya".... sekali lagi "Hanya" saat negeri ini di usik oleh pihak luar (mungkin negara tetangga atau pun yang lebih jauh). Sepengetahuan gue, ada beberapa insiden-insiden yang pernah terjadi di Indonesia dan menimbulkan gejolak rasa nasionalisme yang haru biru atau luar biasa besarnya hingga setiap pemuda di seluruh pelosok negeri ini menyatakan "SIAP PERANG !!" jika panggilan itu datang.

kalau gw bilang sih inilah kondisi yang sangat ironis... (bentar yah.. cengar-cengir dulu) he..he..he.. Lihat saat Negara kita damai .... ! ini point utamanya. Kata orang pinter yang pernah gue baca sih, Damai adalah masa dimana kita mempersiapkan diri untuk Perang bila waktunya tiba.

Nah sekarang gue kasih contoh nyata betapa IRONIS itu ada di masa-masa kita sedang dama, nggak perlu jauh-jauh kita mengambil contoh, dan nggak perlu yang sulit-sulit gue bikin perumpamaan.. coba kita naik bus, naik angkot, naik motor, naik taksi, naik sepeda atau bahkan jalan kaki.... (pakai sendal donk atau sepatu biar kaki nggak lecet) adakah yang kita naiki adalah produk dengan label "Merk Indonesia" ??? Honda, Yamaha, Wimcycle, Nike, Star atau apalah merk-merk yang berbau produk luar, mungkin sebagian besar sudah diproduksi oleh pabrik-pabrik di indonesia dengan lisensi.. tapi sepengetahuan gue itu udah terjadi puluhan tahun yang lalu... kenapa selama itu kita selalu "berlisensi ria" apakah karena faktor kita "malas" atau "bodoh" (ngomong-ngomong gue masuk yang mana yah ?? ) he..he..he

Lanjut... setelah itu coba kita turun di sebuah MALL atau pusat perbelanjaan. "LOOK AT THERE!" dengan teliti tentunya.. banyakan produk dengan label industri Lokal ataukah produk import ? atau sekali lagi LISENSI! (keliatannya gue benci banget yah ama kata-kata lisensi) :) bahkan sampai jeruk sekalipun kalau kita pilah ke setiap jenisnya, Jeruk Lokal paling cuman 1-2 jenis berbanding 5-6 jenis bahkan bisa mencapai 10 jenis Jeruk Import. Setelah itu mari ke produk mainan atau barang-barang dari plastik... lihat detil bagian bawahnya, kenapa harus selalu ada tulisan "MADE IN CHINA"... gue sih curiga sebenarnya gue yakin kalau produk itu dibuat di sini, tapi... ah kenapa harus pake tulisan itu gitu lho! apa kita nggak bangga dengan tulisan "Made in Indonesia" ??? atau takut kalau kita pasang tulisan itu harga jadi jatuh ? he he he..

Itukah rasa cinta kita sesungguhnya ???? itu belum kalau kita bicara tentang korupsi..tapi cape deh! males aja gue ngomongin hal yang satu itu.... terlalu panjang dan banyak yang harus di bahas...

- sudahkah anda mencintai indonesia ini seperti anda mencintai diri anda sendiri ?
* mungkin iya, tapi bagaimana kalau pertanyaannya diganti.

"Sudah tepatkah cara anda mencintai Indonesia ini ???"
- terus terang gue sendiri masih belum bisa jawab "SUDAH" !



Thursday, April 12, 2007

NTT Sets Download Record at 14 Terabytes Per Second

NTT Sets Download Record at 14 Terabytes Per Second

by Mike Zazaian October 2, 2006 - 12:46pm

The Nippon Telegraph and Telephone Corporation has set a new data transfer record using fiber optics, topping out the old record by 4 Terabytes per second.

The speed was achieved over a 100-mile-long fiber optic cable, improving upon the previous 10 terabyte per second record by almost half. At 14 terabytes per second the transfer rate would be the equivalent of downloading approximately 3000 DVD-quality movies in a single second.

Most of the Nippon Telegraph and Telephone Corporation’s (NTT) network is currently using fiber optic lines, but speeds across the network currently top out at 1 terabyte per second, with users achieving downloads of 1Gbps. And while internet users across South Korea and Japan already enjoy the high speed transfer rates that fiber optics offer, networks across the US predominantly use co-axial cable. Speeds offered by co-axial connections are significantly lower, however, with the fastest consumer broadband nework, Verizon’s FiOS, topping out at 50Mbps down and 5Mbps up. But even with Verizon achieving such speeds, most networks, such as those of Comcast and AT&T, currently allow users only 5Mpbs down and 500Kbps up.

A New Chapter Begins for Concentrated Solar Power

kutipan dari situs :
http://www.kernenergien.de/news/nevada?PHPSESSID=c950fe4a37b1b5db79b95b07d79dbe52

11.02.2006
Companies break ground on the first Concentrated Solar Power project in more than 15 years

This weekend, in the Desert outside Las Vegas, a major milestone was reached for renewable energy that could represent a shift in how the fastest growing region in the U.S. get its energy. Hundreds of people from around the world were on hand in Boulder City, Nevada, to commemorate the groundbreaking for the beginning of construction on the first Concentrated Solar Power (CSP) energy project in the U.S. in more than 15 years.

Called Nevada Solar One, the 64 MW commercial-scale solar energy plant will encompass 350 square acres, a nearly endless sea of mirrored troughs that will concentrate the strong desert sunlight and convert it into 750-degree F thermal energy, which can then be used to create steam for electrical power generation.

A combination of state policies and support from both the Governor and the legislature, steady advances in this type of technology, all coupled with skyrocketing energy costs have helped make this unique project a reality.

“Nevada has proven to be very forward thinking in promoting solar and other renewables,” said Solargenix President John Myles. “The main factor here is that you can get very large blocks of power coming from solar energy in one single location. It is very clearly the lowest cost solar energy that can be produced today.”

The project is designed and led by Solargenix Energy, based in North Carolina, but involves a host of companies from around the world. The groundbreaking this weekend also made official a partnership between Solargenix and Spain’s renewable energy giant, the Acciona Group, which has acquired a 55 percent interest in the commercial power plant division of Solargenix.

Gilbert Cohen, Vice President of Engineering & Operations for Solargenix, said the project costs somewhere in the range of $220-250 million. He said the power is slightly more expensive than wind power, but less than photovoltaic (PV) power, more commonly used in small rooftop projects on homes or businesses. Other sources close to the project put this price at somewhere between 9-13 cents per kWh. As more are built, however, and they’re scaled up even bigger, Cohen says a target of seven cents per kWh will not be difficult to reach in the near future.

The Nuts and Bolts of Nevada Solar One

Germany’s glass specialists, Schott — a company familiar in the solar industry for their solar photovoltaic modules — is one of the primary equipment suppliers. In its first large-scale solar thermal contract, Schott is providing more than 19,000 of their latest vacuum tube steel and glass receivers, which in many ways can be considered the heart of the project. It is these receiver tubes that the parabolic mirrors focus the sun’s energy on and they, in turn, absorb the solar radiation. Flabeg, also a German company, will provide the mirror panels or troughs while industrial giant Siemens of Sweden will provide the 75 MW turbine.

Many other companies are involved in other aspects of hardware and construction, including the main construction contractor Houston-based EPC, Phoenix-based Hydro, which is building the aluminum tracking frames that hold the mirrors. Israel-based Solel is providing some backup receivers in case there are any supply issues with the Schott receivers, according to Cohen. In all, as many as 750 people will be involved in the construction and the power plant will have a full-time staff of 28.

Contrary to some press accounts, the project is not the largest of its kind in the world. Nor is it the first. There are, in fact, nine similar projects in the Mojave Desert in California — two of them 80 MW in size — that are operating above and beyond original expectations. According to experts involved in the project, however, there are subtle but significant changes made to this new version that will improve the overall efficiency and cost.

The older plants in the Mojave Desert, called SEGS, for Solar Electric Generating Stations, were different in a number of ways. Those plants required a 25 percent natural gas-fired backup to keep the heat transfer fluid temperature from fluctuating wildly. Nevada Solar One is designed to be more efficient in holding its temperature and requires only a 2 percent natural gas backup. More efficient and reliable motors will be used to move the troughs that track the sun. The frames for these troughs are now built out of lightweight aluminum instead of galvanized steel.

The receivers themselves are different as well. Christoph Fark, global manager for sales and marketing for Schott’s solar thermal division, says the close to 19,000 receivers used in the project are the first commercial application of a new design from the company. The receivers must be designed to withstand the daytime highs of 750 degrees F and the lower temperatures at night. This can be particularly challenging to the seal between the outside glass tubing and the vacuum-packed steel receiver inside that holds the heat transfer fluid, a special synthetic oil. Fark explained how Schott invented a type of glass with the same thermal coefficient as steel so the two materials would react in unison to the constant temperature stresses.

These complex receivers are currently made in Germany but if CSP technology becomes a bigger player in the American Southwest, Fark suspects they could move some production into the U.S.

“We see this as the beginning, we are involved in project discussion worldwide — such as the southern parts of Europe, the Mediterranean and the Middle East,” Fark said. “We hope the market picks up, and if so, then Schott is willing to invest in the production side in the U.S. This is our overall strategy, to be where the customer is. We believe the U.S. market offers huge potential for this technology.”
The Right Place at the Right Time

On a broader scale, Nevada Solar One reflects a symbolic rekindling of this technology approach, one that many experts say is particularly well-suited for areas like the American Southwest where sunlight is abundant but energy is precious and increasingly strained by population growth.

“This is a technology the utilities are comfortable with, it has proven reliability, it lends itself to economies of scale, there clearly is still some room for price reduction, and also it’s a way to get large amounts of renewable energy deployed rapidly,” said Chuck Kutscher, Principal Engineer and Group Manager of the Thermal Systems Group at the National Renewable Energy Laboratory. “If we want to get serious about reducing carbon dioxide emissions and lower our use of fossil fuels, this is a way to quickly address that. I’m very optimistic about this technology.”
A wide variety of factors have collided — everything from politics to the marketplace — to make this project a reality.

“After many years the time has come where we don’t have to explain anymore the need for renewable energy, we don’t have to explain the concerns about climate change, we don’t have to explain the instability created by oil resources that belong to only a few countries when all countries are using these resources. Nor do we have to explain the instabilities to energy from disasters like hurricanes,” said Alberto De Miguel, Acciona’s Director of Corporate Development and Strategy. “Renewable energy is now accepted more than ever by the public.”

And that public acceptance is increasingly being turned into policy. Nevada is one of a growing number of states with a mandate that electric utilities, in this case Nevada Power Co. and Sierra Pacific Power Co., source a slowly escalating percentage of their power from renewable resources. Eventually the two utilities will have to reach 20 percent renewable energy use by 2015. The law also contains a so-called “solar cut-out” that requires at least one-fourth of that power to come from solar energy. The project is projected to generate 130,000 MWh of power per year over the course of its decades-long lifetime. All of its electricity production will be sold to Nevada Power and Sierra Pacific Power under long-term power purchase agreements to help them meet this requirement.
A Natural Fit for Tomorrow’s Market

While Nevada’s policy played a very strong role in supporting this project, perhaps the next most influential factor is the natural gas market where prices have skyrocketed. This is at the core of why experts inside and outside of Solargenix believe CSP will play an increasingly important role in helping the rapidly growing American Southwest to meet its energy demands.

“There are fundamental differences in the electricity marketplace versus 15 years ago,” said Rhone Resch, Executive Director of the Solar Energy Industries Association (SEIA), who was involved in the natural gas industry before joining SEIA.

“Natural gas and peak power is incredibly expensive. Utilities are scrambling to find power generation sources that are reliable for peak power,” Resch said. “Those changes are going to be what drives new plants like this. The beautiful thing with this project is that it offers firm, dispatchable peak power.”

Resch said utilities and the ratepayers they serve made an investment in natural gas for the coming decades as a transition fuel but they are finding out now that it’s too expensive to afford. The power plants are fine, but the energy commodity is becoming cost prohibitive and coal is often the next best option. This is relevant and fortuitous for CSP technologies because natural gas power plants are not fundamentally so different than a CSP plant. Just as today’s fleet of natural gas plants uses a fossil fuel to create steam for a turbine, CSP plants like Nevada Solar One also create useable, commercial-scale steam, except only from the sun’s energy, a consistently free and available resource.

“Except for the troughs, everything else is a standard natural gas plant,” said Scott Sklar, industry consultant with the Stella Group. “That’s what Solargenix has always maintained, you’re really buying a natural gas power block with solar attached. It can’t be that risky, after all the old SEGS plants have been up and have operated close to flawless.”

In addition to the power plant side of the project being something the utilities and the traditional power industry is familiar with, Sklar said these types of projects can be easily deployed close to where the power is needed, unlike commercial wind power where the best wind resources are often not near where the power is needed. And while wind power may offer a slightly lower cost per watt than CSP, wind power generation is intermittent, whereas CSP offers consistent power all day long when energy demands are highest.

“I dealt with this all the time, in the early days when Washington pundits and other people thought solar thermal would go nowhere,” Sklar said. “Or they would say ‘this stuff is great but it just isn’t in sizes big enough to matter.’ Well this is pretty substantive. It’s exciting and I think it will create a whole revival towards concentrated solar power in the U.S.”

The project is scheduled to begin production of electricity in March of 2007.

For further Information Solargenix Energy

Source: RenewableEnergyAccess.com

Wednesday, March 21, 2007

Direktur Minarak Lapindo Ditampar Lurah Siring

Direktur Minarak Lapindo Ditampar Lurah Siring
Rabu, 21 Maret 2007 | 19:03 WIB

TEMPO Interaktif, Sidoarjo: Lurah Desa Siring, Porong, Sidoarjo, Fain Ghozali mengamuk dan menampar Direktur Utama PT Minarak Lapino Jaya Bambang Hawik saat sosialisasi persyaratan ganti rugi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo pada Rabu (21/3).

Fain mengaku kesal karena PT Minarak Lapino Jaya yang dibentuk Lapindo Brantas Inc untuk mengurus ganti rugi tetap mensyaratkan adanya sertifikat dan izin mendirikan bangunan untuk mendapatkan ganti rugi.

Sejak dimulai acara sosialisasi di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Sidoarjo ini langsung panas. Apalagi ketika Bambang menyatakan tetap menuntut sertifikat tanah dan izin mendirikan bangunan.

Syarat yang diminta Minarak Lapindo ini bertentangan dengan keputusan Lurah Siring, Camat Porong dan Kepada Badan Perencanaan Pembangunan Sidoarjo Vino Rudy Muntiawan. Sebab jika syarat ini harus dipenuhi, hanya 5 persen korban Lapindo yang menerima ganti rugi.

Apalagi, kata Vino yang ditunjuk sebagai Koordinator Tim Verifikasi menyatakan, berdasarkan hasil keputusan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur, syarat sertifikat dan izin mendirikan bangunan itu tidak berlaku.

Pernyataan Vino ini dibantah oleh Bambang, "Harus tetap ada sertifikat dan IMB. Karena itu pemerintah seharusnya aktif menguruskan sertifikat warga,” ujar Bambang. Kontan suasana sosialisasi pun menjadi panas. Bambang bahkan mendesak warga menuntut pemerintah membuat sertifikat dan IMB.

Kengototan Bambang membuat Fain menggebrak meja berkali-kali dan langsung menghampiri Bambang. Dengan nada tinggi, dia menarik kerah baju Bambang. Tanpa basa-basi, Lurah Desa Siring melayangkan bogem mentah ke pipi kiri Bambang. Bambang pun diminta membuat kesepakatan tidak perlu sertifikat dan IMB.

Kenekatan Fain bisa dimaklumi karena dari 2.000 warga Siring, hanya 5 persen yang memiliki sertifikat. Padahal rumah mereka terendam gara-gara lumpur yang muncrat dari sumur milik Lapindo Brantas.

Warga yang mengikuti sosialisasi tetap menuntut Lapindo mencabut syarat tersebut. Jika tidak mau, warga akan memaksa Lapindo mengembalikan kondisi desa mereka seperti semula dan mengembalikan rumah mereka. Mereka menyatakan kengototan Lapindo karena perusahaan yang berafiliasi ke kelompok Bakrie ini memang tidak mau membayar ganti rugi. (Rohman Taufik)

Wednesday, February 28, 2007

Rotan dan Rantai Ekonomi Daerah

Berikut adalah kutipan berita Media Indonesia tertanggal Rabu, 14 Februari 2007 yang isinya adalah sebagai berikut :

"Pemerintah akan melarang ekspor rotan pada tahun ini guna meningkatkan nilai tambahnya di dalam negeri dan menjadikan produk berbasis rotan sebagai keunggulan produk ekspor Indonesia.

Hal itu diisyarakatkan oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris di Jakarta, Rabu (14/2), menanggapi pertanyaan apakah ekspor rotan kelak akan dihentikan."

Apakah ini solusi yang tepat ?

Jawabannya mungkin iya mungkin juga tidak, kenapa ..? Mari bahas satu persatu lihat nilai positif dan negatif dari keputusan pemerintah ini.

Industri Rotan di Cirebon sudah berkembang cukup lama dan berusia puluhan tahun, dalam sejarahnya sejak dulu bahan baku rotan memang sudah boleh di ekspor. Ketika keluar SK Menteri Perdagangan No.274/Kp/XI/1986 sejak saat itu bahan baku rotan mentah (asalan) dilarang untuk di ekspor, lalu menyusul SK Menteri Perdagangan No.190/Kpts/VI/1988 tentang pelarangan ekspor rotan setengah jadi. Apa yang terjadi mulai saat itu ? Berbagai kalangan pengusaha mulai merintis industri kerajinan dan mebel rotan, muncul sentra-sentra industri rotan di Indonesia termasuk di wilayah Cirebon. Pengusaha baru sekaligus eksportir rotan bermunculan disana sini sehingga mendongkrak nilai ekspor produk jadi rotan. Namun disisi lain terjadi kejenuhan pasar akibat pelarangan ekspor bahan mentah (asalan) dan setengah jadi ke pasar luar negeri, mengakibatkan harga di tingkat petani merosot dengan tajam. Terjadi kelebihan pasokan bahan baku rotan di pasar domestik, jelasnya petani menderita. Lalu jaman bergulir, orde reformasi mengubah hampir semua aturan-aturan yang dulu berlaku pada saat orde baru, termasuk tentang bahan baku rotan. melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 kran ekspor bahan baku rotan mentah kembali dibuka dengan maksud untuk menstabilkan harga dan menghilangkan kelebihan pasokan bahan baku rotan di pasar domestik, saat inilah perlahan harga rotan mentah (asalan) di tingkat petani mulai merangkak naik sedang ditingkat pengusaha ketika nilai dolar berada pada posisi puncak, pengusaha rotan masih menikmati keuntungan yang berlebih. Namun ketika nilai tukar dolar berangsur mengalami penurunan ke tingkat yang stabil mulailah keluhan muncul. Harga bahan baku naik, Pesaing mulai bermunculan seperti China dan Vietnam yang mulai melirik peluang bisnis ini. Berbekal bahan baku yang di impor melalui Singapura China dan Vietnam mulai mengambil sedikit demi sedikit porsi pasar produk rotan yang dari dulu selalu dikuasai oleh Indonesia.

Bagaimana dengan di Cirebon ? Tentu saja permasalahan ini juga menjadi perhatian serius dan memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Cirebon yang notabene bukan daerah penghasil rotan asalan harus membeli dari daerah lain yang berada di luar pulau Jawa. Industri Rotan yang berpusat di Kabupaten Cirebon terutama di kecamatan Plumbon mengalami perubahan peta produksi yang sangat signifikan. Beberapa pabrik insudtri rotan mengalami penurunan produksi akibat persaingan dari pihak Vietman dan China yang ternyata sanggup menyaingi harga jual produk rotan dari Indonesia terutama Cirebon, bebepara industri yang kalah bersaing bahkan ada yang menutup sementara produksi untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.

Dari kejadian ini berdampak pula terhadap tenaga kerja dan beberapa kalangan yang terkait langsung dengan industri satu ini, selain menambah jumlah pengangguran akibat pengurangan tenaga kerja ataupun tutupnya pabrik-pabrik rotan yang merupakan industri padat karya, generasi muda kita yang mulai masuk usia bekerja pun mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Masyarakat yang tergantung pada kelangsungan hidup industri rotan seperti warung makan dan minuman juga toko-toko penjual peralatan kerja bagi tenaga kerja mengalami pengurangan pendapatan sehingga menurunkan daya beli dan kemampuan konsumsi di kawasan tersebut, pusat-pusat ekonomi dikawasan sekitar industri rotan contohnya Pasar juga merasakan akibat langsungnya, mereka kehilangan beberapa konsumen tetap yang dulunya selalu mengkonsumsi produk-produk yang mereka jual seperti pakaian, perlengkapan hiburan seperti barang elektronik dari HP sampai Televisi tak luput dari pengaruh ini bahkan perhiasan dan produk kendaraan pun juga ikut merasakan dampaknya.

Masyarakat saat ini hanya memikirkan kebutuhan pokok saja dan mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak begitu penting. Itu pun terkadang masih kekurangan karena pekerjaan sudah sangat sulit didapatkan.

Akhirnya, efektifkah rencana pemerintah menutup kran ekspor bahan baku rotan untuk menyikapi kondisi seperti ini ?

Iya kalau hanya melihat dampak luas yang timbul bila industri penting seperti rotan ini ambruk secara perlahan. Tapi bagaimana nasib Petani ? bila ekspor rotan di kembalikan seperti kondisi tahun 1986 niscaya harga di tingkat petani akan berangsur turun mungkin bisa lebih parah dari tahun-tahun yang lalu karena pengusaha semakin berkuasa untuk menentukan harga beli bahan baku yang mereka butuhkan dengan alasan adanya kenaikan sektor Upah tenaga kerja dan tarif dasar listrik yang semakin tidak terjangkau kalangan pengusaha.

Mari kita berfikir secara rasional. Logikanya negara China dan Vietnam yang notabene juga tidak menghasilkan rotan asalan, tentunya dalam produksinya membutuhkan rotan asalan harus diimpor dari Indonesia, walaupun tingkat upah disana yang katanya dikatakan masih lebih murah dari Indonesia tetapi pada kenyataannya dapat mereka dapat menghasilkan produk-produk yang memiliki daya saing kuat baik dari segi harga ataupun kualitas produknya. Seharusnya dari sini kita belajar, saat dihadapkan pada permasalahan bahan baku yang mulai mahal seharusnya tenaga-tenaga kerja kitalah yang menyadari bahwa produk mereka haruslah lebih baik agar bisa menyaingi produk China dan Vietnam. Terlepas apakah mereka menggunakan politik dumping ataukah tidak untuk produk mereka.


Jadi solusi yang tepat mungkin adalah perbaikan sektor kualitas dari produk rotan kita. Lihat jepang, mereka bisa menghasilkan mobil berharga ratusan juta rupiah dari berbekal onggokan besi, karet, plastik dan kain yang barangkali kalau dalam bentuk mentah hanya berharga jutaan. Perbaikan kualitan adalah jawaban yang tepat untuk keluar dari permasalahan ini, bila kita bisa menghasilkan suatu produk dengan nilai jual yang tinggi (bukan asal murah) tentunya tak akan ada yang di rugikan. Pihak pembeli (buyer) luar negeripun masih mau membeli produk kerajinan rotan kita karena mereka merasa harga yang dibayarkan sesuai dengan kualitas yang didapatkan. Jangan lagi kita yang di dikte oleh pasar ataupun buyer.

Bagaimana hal ini bisa terwujud ? Kerjasama adalah kuncinya. Pemerintah daerah dan para pengusaha harus mulai mengembangkan kerjasama terutama dalam usaha meningkatkan kualitas produk. Balai-balai penelitian dan pelatihan tentang rotan sudah saatnya di bangun. Inovasi-inovasi tentang produk sudah saatnya jangan di lirik sebelah mata. Peraturan-peraturan daerah pun sudah sepatutnya mendukung industri rotan tanpa juga mengorbankan hak-hak tenaga kerja yang bersangkutan.

Dapatkan semua di wujudkan ? jawabnya kembali ke masing-masing pihak yang terkait.

Sunday, February 4, 2007

Pengaturan Aliran Air Di Tengah Kota

Awal tahun 2007 tepatnya awal bulan Februari ibukota negara Indonesia yaitu DKI Jakarta dilanda banjir besar yang mengakibatkan beberapa infrastruktur penting mengalami kelumpuhan atau tidak berfungsi sama sekali. Dampak yang nyata tentunya dirasakan oleh warga Jakarta dimana dilaporkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu, sehingga untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, mencuci ataupun yang lain tidak mungkin lagi dilakukan karena ketinggian air tergolong parah bahkan ada yang mencapai 3-4 Meter. Bila melihat dari pengalamam yang ada, beberapa faktor yang sangat berpengaruh adalah akan terjadinya banjir di Jakarta adalah : pertama daratan di Jakarta termasuk daratan yang rendah bahkan beberapa tempat memiliki ketinggian di bawah permukaan laut, Kedua Jakarta dilewati 13 aliran sungai besar dan kecil yang memiliki kondisi sebagian besar tercemar oleh limbah rumah tangga dan industri terutama sampah padat, ketiga problema pemukiman disekitar daerah aliran sungai yang dari tahun ke tahun tidak pernah terselesaikan, keempat Kurangnya daerah resapan air untuk kawasan kota Jakarta yang menurut beberapa artikel menyebutkan Jakarta hanya memiliki 6% dari wilayahnya yang merupakan lahan hijau sehingga faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya banjir. Masih banyak lagi masalah-masalah lain yang menjadi faktor penyebab terjadinya banjir salahsatunya memang iklim dunia juga mendukung terjadinya limpahan curah hujan dan pencairan kutub akibat pemanasan global.

Dari hal ini bisalah kita buat sebagai pelajaran bahwa penataan kota apalagi kota besar seperti Jakarta sangat dibutuhkah kecermatan dalam pembagian wilayah sesuai dengan fungsinya, Kota seperti Jakarta seyogyanya memiliki sarana saluran dan penampungan air yang lebih baik dari sekarang, dan bila kita melihat usia jakarta yang sudah ratusan tahun ternyata pengalaman hanyalah akan menjadi catatan sejarah kalau kita tidak pernah belajar dari pengalaman itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan kota-kota lain di daerah ??

Sebagian besar ibukota Propinsi dan kota-kota besar di wilayah Indonesia ini adalah merupakan kota pantai sebagai contoh Kota Surabaya, Semarang, Pontianak, Padang, Manado dan yang lainnya termasuk diantaranya Cirebon, Tegal, Tuban, Gresik dan kota-kota lainnya di luar Jawa, artinya sudah jelas sebagian besar dari kota kota tersebut berada di dataran rendah yang umumnya rawan akan banjir. Sudah sebaiknya para pimpinan daerah tersebut melihat Jakarta sebagai contoh yang nyata bahwa penanganan kota bukan lah hal yang sepele, tidak hanya dengan memisahkan area pemukiman dengan industri, ataupun menghindarkan area pertanian dengan area yang berpotensi menghasilkan limbah yang berpengaruh kedalam area pertanian. Namun lebih dari itu, sudah seharusnya kita mulai memikirkan jalur-jalur lintasan air. Manajemen pengaturan aliran air ini bukanlah hal yang mudah tentunya, tapi bukan pula sesuatu hal yang tidak mungkin. Kita tengok kota-kota di Eropa, sebagian besar negara-negara di Eropa adalah negara yang di aliri sungai dan berada pada ketinggian yang rendah bahkan Belanda sebagian merupakan daratan dengan ketinggaian di bawah permukaan air laut.

Saat sekarang kota selain Jakarta masih relatif lebih kecil dari skala luas maupun jumlah penduduknya kecuali Surabaya. tapi bukan berarti kita bisa bersantai-santai dengan kondisi ini, justru disaat perkembangan kota masih relatif terpantau maka perlu adanya pemikiran-pemikiran jauh kedepan. Bagaimana kota akan dikembangkan lebih jauh sehingga dari sekarang disiapkan jalur-jalur aliran air dari hujan, limbah rumah tangga ataupun industri, dan bahkan limpahan air sungai dari daerah pegunungan atau hulu sungai. Perlu juga disiapkan daerah resapan air di tengah kota sehinggakelak tidak perlu diadakan penggusuran-penggusuran yang mungkin akan lebih sulit penanganannya di banding kalau kita laksanakan sekarang.

Bagaimana dengan Dananya ?

Pertanyaan klasik yang sering diutarakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Memang benar Indonesia bukan negara kaya itu kalau di lihat secara sosial penduduknya, pendapatan di daerah terkadang tidak sebesar kebutuhan yang diperlukan daerah tersebut dalam melaksanakan pelayanan-pelayan terhadap masyarakat. Tapi apabila para pemimpin bisa aktif memikirkan hal ini masih banyak kemungkinan solusi-solusi yang bisa didapatkan. Banyak sarjana-sarjana ataupun pemikir-pemikir berbakat di daerah, ide merekalah yang perlu kita perhatikan, perlu juga dirangkul pengusaha-pengusaha juga pelaku perdagangan di wilayah bersangkutan, toh semua itu demi kelancaran mereka. atau bahkan bila diperlukan kita berikan beasiswa untuk mengirim pemuda-pemuda yang berpotensi ke luar negeri untuk belajar tentang penataan kota terutama masalah penanganan air.

Jadi pada akhirnya adalah semua tergantung Pemimpin dan bagaimana pemimpin itu merangkul masyarakatnya untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan penataan kota.

Saturday, January 27, 2007

Orang Kaya Neh !


Berikut adalah 10 orang terkaya di Indonesia menurut Forbes (versi September 2006)

1. Sukanto Tanoto dan keluarga - US$2,8 milyar

2. Putera Sampoerna dan keluarga - $2,1 milyar


3. Eka Tjipta Widjaja dan keluarga - $2 miliar


4. Rachman Halim dan keluarga - $1,8 miliar


5. R Budi Hartono dan keluarga - $1,4 miliar


6. Aburizal Bakrie dan keluarga - $1,2 miliar


7. Eddy Katuari dan keluarga - $1 miliar


8. Trihatma Haliman - $900 juta


9. Arifin Panigoro - $815 juta


10. Liem Sioe Liong dan keluarga - $800 juta