Saturday, January 27, 2007

Orang Kaya Neh !


Berikut adalah 10 orang terkaya di Indonesia menurut Forbes (versi September 2006)

1. Sukanto Tanoto dan keluarga - US$2,8 milyar

2. Putera Sampoerna dan keluarga - $2,1 milyar


3. Eka Tjipta Widjaja dan keluarga - $2 miliar


4. Rachman Halim dan keluarga - $1,8 miliar


5. R Budi Hartono dan keluarga - $1,4 miliar


6. Aburizal Bakrie dan keluarga - $1,2 miliar


7. Eddy Katuari dan keluarga - $1 miliar


8. Trihatma Haliman - $900 juta


9. Arifin Panigoro - $815 juta


10. Liem Sioe Liong dan keluarga - $800 juta

Friday, January 26, 2007

OTEC ... Pembangkit Listrik bertenaga Air Laut !


OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion)

Dalam sejarahnya tekhnologi OTEC bukan merupakan tekhnologi yang baru karena tekhnologi ini sudah cukup lama dikembangkan, pembahasan teori ini muncul sekitar abad 1800, dan tepatnya pada tahun 1881 Jacques Arsene d'Arsonval seorang ilmuwan fisika dari Perancis mengajukan usulan untuk membuat pembangkit yang mengubah suhu air laut menjadi energi listrik. Namunb justru murid dari Jacques Arsene d'Arsonval yang bernama Georges Claude yang akhirnya berhasil membangun sebuah reaktor OTEC pertama pada tahun 1930, saat itu reaktor ini menghasilkan 22 KW listrik dari memakai turbin bertekanan rendah. Georges Claude kemudian mendirikan reactor yang kedua di Brazil, reaktor ini ditempatkan pada kapal laut berboot 10.000 ton namun gelombang dan cuaca merusak semuanya. Beberapa ilmuwan Perancis kemudian saling mencoba membangun beberapa reactor percobaan namun hamper semuanya masih belum terwujudkan karena membutuhkan modal yang cukup besar. Akhirnya Amerika Serikat tertarik dengan tekhnologi ini dan pada tahun 1974 Natural Energy Laboratory of Hawaii mendapat kewenangan untuk membangun sebuah reactor OTEC yang berlokasi di Keahole Point di pantai Koha – Hawaii. Reaktor inilah yang akhirnya diketahui sebagai reaktor pembangkit listrik OTEC terbesar di dunia. Jepang dan India pun mulai melirik tekhnologi ini dan telah mulai mengembangkannya, bahkan India sudah membuat sebuah Reaktor di atas kapal laut yang di tempatkan di dekat perairan Tamin Nadu.


Bagaimana sebenarnya sistem OTEC berkerja ?


OTEC memanfaatkan perbedaan suhu air laut permukaan dan air laut di kedalaman (deep ocean water) dan menutur para ilmuwan pada perairan tropis permukaan air laut memiliki suhu rata-rata sekitar 25º Celsius, sedang di kedalaman 1000 m air laut bisa bersuhu 10º Celsius bahkan kurang. Sehingga OTEC sangat cocok untuk diterapkan pada kawasan yang beriklim tropis. (catatan :
Indonesia berada di wilayah yang beriklim tropis). Untuk wilayah yang beriklim sedang atau sub tropis perbedaan suhu antara permukaan dan di kedalaman tidaklah terlalu besar bahkan dalam suatu musim tertentu yaitu musim dingin, permukaan air bisa mengalami pembekuan. Alasan inilah yang mejadikan OTEC sangat cocok untuk kawasan tropis.

Ada 2 macam cara kerja sistem OTEC ini yaitu :

1. Siklus tertutup.

Siklus tertutup ini memanfaatkan cairan lain selain air laut, dalam hal ini cairan amoniak. Dalam ruang hampa cairan amoniak mengalami penguapan dengan memanfaatkan air laut bersuhu panas di permukaan dan uap dari amoniak ini digunakan untuk memutar turbin generator listrik, setelah keluar dari turbin amoniak mengalami proses pendinginan dengan memanfaatkan air laut bersuhu dingin dari kedalaman 1000 m.

Pada tahun 1979 Natural Energy Laboratory Amerika dan beberapa mitra usahanya membuat sebuah percobaan kecil dengan membangun sebuah mini OTEC di sebuah kapal laut yang ditempatkan sekitar 2.4 km lepas pantai Hawai, listrik yang dihasilkan tersebut dapat mencukupi kebutuhan listrik untuk menyalakan lampu, computer dan televisi didalam kapal laut itu.

Pada tahun 1999 Natural Energy Laboratory Amerika mengadakan suatu percobaan lagi dengan membangun sebuah reaktor OTEC untuk menghasilkan sekitar 250 kW.

Selain Amerika, India juga melakukan percobaan dengan membangun sebuah reactor OTEC terapung yang berkekuatan 1 MW.

2. Siklus terbuka.

Sedang siklus terbuka adalah dengan menempatkan air laut panas dalam sebuah container khusus bertekanan rendah (ruang hampa), hingga air laut ini mengalami penguapan dalam ruang tersebut. Selanjutnya seperti dalam proses-proses pembangkitan listrik pada umumnya, uap air dari air laut ini di manfaatkan untuk memutar turbin generator dan menghasilkan listrik. Uap air laut ini mengandung kadar garam garam yang sedikit bahkan nyaris tidak ada. Sehingga dengan memanfaatkan air laut dari kedalaman yang bersuhu dingin, uap air di dinginkan dalam suatu ruang tertentu sehingga mengembun dan menjadi air murni. Air murni ini dapat dimanfaatkan langsung sebagai air minum.

Pada tahun 1984 Amerika melalui Solar Energy Research Institute (sekarang menjadi National Renewable Energy Laboratory) berhasil membangun sebuah reactor OTEC siklus terbuka, reactor ini mengahasilkan efisiensi yang sangat tinggi untuk ukuran sebuah reactor OTEC, yaitu mencapai 97% energi yang dihasilkan dalam sebuah proses konversi. Instalasi OTEC di Keahole Point, Hawaii menghasilkan energi listrik bersih sebesar 50.000 watt, lebih besar dari system OTEC Jepang yang menghasilkan 40.000 watt pada tahun 1982. (listrik bersih adalah hasil listrik yang didapat dari pegurangan total daya dari sebuah reaktor di kurangi dengan kebutuhan listrik untuk proses pembangkitan listrik itu sendiri).

Kelebihan-kelebihan lain dari system OTEC ini antara lain adalah :

1. Air bersih

Air bersih didapatkan dari pengembunan uap air dari OTEC siklus terbuka, secara teori bila di bangun reactor berdaya bersih 2 MW, dapat menghasilkan 4.300 meter kubik air bersih per hari.

2. Pendingin Ruangan.

Karena suhu air laut dikedalaman memiliki suhu sekitar 10º maka kelebihan air laut yang bersuhu dingin ini dapat dimanfaatkan untuk mendinginkan air bersih atau langsung dimasukkan kedalam system pendingin (AC).

3. Agrikultur sub tropis

Pipa yang mengalirkan air dingin juga bisa menghasilkan suatu iklim yang sama seperti wilayah beriklim sub tropis, dengan mengalirkan pipa tersebut dibawah tanah makan suhu tanah dan lingkungan sekitarnya akan berubah seperti iklim sub tropis sehingga iklim ini dapat di manfaatkan untuk menghasilkan buah-buahan dan juga budidaya hewan seperti ikan yang normalnya hanya hidup pada iklim yang dingin seperti di daerah sub tropis.

Dengan melihat beberapa keuntungan-keuntungan yang terurai diatas dapatlah kita mulai berfikir bila hal ini kita wujudkan di Indonesia maka kebutuhan listrik nasional kita akan bisa kita penuhi tapi kebutuhan bahan bakar untuk pembangkit listrik bias kita tekan seminimun mungkin karena air laut sangatlah melimpah di wilayah Indonesia ini.




Thursday, January 25, 2007

Iseng ngitung Yuk!

Harga rata-2 minyak mentah dunia per Januari 2007 adalah : $ 55,00 / barrel
Kurs USD ke IDR per tgl : 25 Januari 2007 sekitar : 9.100 rupiah
bila kita hitung 1 barrel = 159,6 liter

maka bisa di hitung harga dasar minyak mentah adalah :
$ 55,00 x Rp. 9100 : 159,6 liter = Rp. 3.136 / liter

jadi itulah kira kira modal nya PERTAMINA untuk mengolah minyak mentah menjadi bensin

Bahan Bakar Pilihan

Saatnya Menanam Jagung

Oleh : Andreas Maryoto

Mereka yang mengalami masa kanak-kanak paling tidak pada satu dekade yang lalu tentu masih familier dengan lagu karya Ibu Sud berjudul Menanam Jagung. Lagu ini menjadi sarana efektif mengenalkan anak-anak mengenai kegiatan berkebun. Lagu itu sekaligus menyemangati anak-anak agar mau bercocok tanam.

Soal mengapa jagung menjadi contoh dalam lagu itu, salah satu yang mungkin menjadi alasan karena menanam jagung memang kegiatan yang mudah. Biji jagung yang ditanam dalam waktu singkat akan terlihat. Dalam waktu tiga setengah bulan juga sudah menghasilkan buah.

Sayang sekali kita tidak benar-benar menanam jagung di lahan yang sangat luas ini. Meski berbagai upaya dilakukan, baik oleh pemerintah maupun swasta, tanaman jagung masih dianggap sebagai tanaman "kelas dua".

Tanaman jagung pun makin tidak dikenal. Banyak pihak yang memosisikan jagung sebagai makanan orang miskin. Salah satu televisi swasta memberitakan, penduduk di salah satu tempat di Pulau Jawa mengalami kekeringan hingga mereka "terpaksa" makan jagung. Jagung makin terpojok dan menjadi komoditas terabaikan.

Situasi yang berbeda malah terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat. Sejak awal mereka mengetahui potensi besar komoditas ini sehingga AS merupakan negara produsen jagung terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 250 juta ton per tahun atau sepertiga produksi dunia.

Riset untuk tanaman ini sangat maju sehingga jagung memiliki produktivitas di atas delapan ton per hektar, sementara produksi kita (Indonesia) hanya sekitar 3,5 ton per hektar. Hingga sekarang riset ini masih berlangsung karena tantangan sektor pertanian ke depan makin rumit dan bervariasi.

Riset jagung untuk produk pangan olahan di AS juga tidak kalah majunya. Mereka bisa menganekaragamkan menu sarapan pagi hingga makanan ringan yang terbuat dari jagung. Di mata mereka, jagung bukan makanan kelas dua, bukan pula makanan penduduk miskin.

Dunia kembali tercengang ketika mengetahui potensi besar jagung bukan hanya untuk pangan, tetapi untuk substitusi bahan bakar. Ketika harga minyak dunia mengalami peningkatan dari sekitar 40 dollar hingga sekitar 70 dollar AS, orang meributkan bahan bakar alternatif. Mereka mencari, mulai dari minyak sawit, jarak, molase, gula, hingga jagung.

Kedudukan jagung pun sempat dianggap sepele karena banyak pihak memilih molase dan gula sebagai bahan baku etanol. Dampaknya harga gula melambung dari sekitar 300 dollar AS pada tahun lalu menjadi sekitar 490 dollar AS per ton.

Akan tetapi, ketika Amerika Serikat mengeluarkan kajian yang terbaru pada bulan Juli lalu yang memilih jagung sebagai bahan baku produksi etanol, bukan molase atau gula, harga gula langsung anjlok. Pada pekan terakhir bulan Agustus 2006 harga gula di Bursa Berjangka London hanya 377 dollar AS per ton.

Pilihan kebijakan AS ini sebenarnya bisa diketahui sejak beberapa waktu lalu ketika pengalihan konsumsi jagung dari sebagian besar untuk pakan ternak menjadi kebutuhan lain, seperti sirup jagung dan terakhir untuk alkohol.

Proporsi penggunaan jagung untuk pakan ternak terus merosot dari sekitar 80 persen pada tahun 1960-an menjadi 67 persen pada tahun 1970-an, dan 60 persen pada 1990-an, hingga pada tahun 2006 diperkirakan hanya 51 persen.

AS telah menyatakan penggunaan jagung untuk produksi etanol pada tahun ini akan meningkat sekitar 35 persen dibanding tahun lalu. Ke depan produksi etanol juga akan terus bertambah sehingga penggunaan jagung untuk bahan baku produksi etanol pasti akan meningkat.

Jhon Baize dari John C Baize and Associates dalam presentasinya di Hanoi, Vietnam, menyebutkan, sejak tahun 1997 produksi etanol AS mengalami peningkatan. Akan tetapi, lonjakan produksi terbesar terjadi dari tahun 2005 ke tahun 2006. Lonjakan produksi mencapai hampir satu miliar galon, sementara pertumbuhan produksi etanol sebelumnya hanya sekitar 0,5 miliar galon.

Meskipun dampak konsumsi jagung untuk produksi etanol tidak serta-merta menaikkan harga jagung di Bursa Berjangka Chicago, dipastikan harga jagung akan terus merambat naik. Apalagi, AS juga sudah mengumumkan penggunaan jagung untuk produksi etanol akan terus meningkat, sementara mereka mengakui belum menemukan jagung dengan produktivitas yang lebih tinggi.

China yang beberapa tahun lalu termasuk pengekspor jagung kini telah menyatakan sebagai importir jagung. Mereka mengalami masalah berupa penurunan luas areal akibat maraknya pembangunan di berbagai tempat di China.

Secara global, produksi jagung menunjukkan masalah yang serius. Baru terjadi pada tahun ini konsumsi jagung dunia lebih besar dibanding produksi. Produksi jagung dunia mencapai sekitar 680 juta ton, sementara konsumsi mencapai 740 juta ton. Dampak dari situasi ini, stok dunia pada akhir tahun akan lebih rendah dibanding stok akhir tahun lalu.

Kembali kita terkaget-kaget ketika melihat data-data itu. Indonesia pasti akan terkena dampak dari situasi perdagangan jagung dunia. Indonesia harus mengimpor rata-rata sekitar satu juta ton jagung setiap tahunnya. Indonesia harus mengeluarkan banyak devisa untuk membeli jagung. Di tengah perdagangan jagung dunia yang tipis, kalangan industri pakan ternak harus membayar jagung dengan harga mahal.

Padahal, Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan produksi jagung. Saat ini hanya sekitar 28 persen dari lahan yang ada, yaitu 800.000 hektar dari tiga juta hektar, yang menggunakan benih hibrida. Bila saja penggunaan benih hibrida bisa ditingkatkan, maka produksi jagung bisa meningkat lebih besar lagi. Benih komposit bisa menghasilkan sekitar empat ton per hektar, sementara benih hibrida bisa menghasilkan hingga delapan ton per hektar.

Penanaman jagung juga tidak terlalu rumit dan tidak memerlukan pemeliharaan yang sulit dibanding penanaman padi sehingga para petani yang hendak memasuki usaha tanaman jagung tidak banyak mengalami kendala. Jagung juga bisa ditanam di lahan-lahan yang relatif marjinal atau bukan lahan kelas satu.

Penanaman jagung yang diikuti dengan perdagangan jagung yang bergairah juga akan membuka lapangan pekerjaan. Pengangguran yang terjadi bisa terpecahkan bila bisnis ini tergarap serius, apalagi bila kelak Indonesia juga mengembangkan energi alternatif yang berasal dari komoditas jagung.


How much corn would I need to grow in order to produce enough ethanol fuel to drive my car across the country?

===========================================================

With so much volatility in today's world oil market, many are seeking out alternative fuels to power cars. Some, including corn producers, have touted ethanol is a possible alternative fuel. Ethanol, or ethyl alcohol, is made by fermenting and distilling simple sugars from corn. Ethanol is sometimes blended with gasoline to produce gasohol. Ethanol-blended fuels account for 12 percent of all automotive fuels sold in the United States, according to the Renewable Fuels Association. In very pure forms, ethanol can be used as an alternative to gasoline in vehicles modified for its use.

In order to calculate how much corn you would have to grow to produce enough ethanol to fuel a trip across the country, there are a couple of basic factors we have to consider:

  • Let's assume that you drive a Toyota Camry, the best-selling car in America in 2000. We know that the Toyota Camry with automatic transmission gets 30 miles per gallon of gas on the highway.
  • Gasoline is more efficient than ethanol. One gallon of gasoline is equal to 1.5 gallons of ethanol. This means that same Camry would only get about 20 miles to the gallon if it were running on ethanol.
  • We also need to know how far you are traveling: Let's say from Los Angeles to New York, which is 2,774 miles (4,464.2 km), according to MapQuest.com.
  • Through research performed at Cornell University, we know that 1 acre of land can yield about 7,110 pounds (3,225 kg) of corn, which can be processed into 328 gallons (1240.61 liters) of ethanol. That is about 26.1 pounds (11.84 kg) of corn per gallon.

First, we need to figure out how much fuel we will need:

2,774 miles / 20 miles per gallon = 138.7 gallons

(METRIC: 4,464.2 km / 8.5 km per liter = 525.2 liters)

We know that it takes 26.1 pounds of corn to make 1 gallon of ethanol, so we can now calculate how many pounds of corn we need to fuel the Camry on its trip:

138.7 gallons * 26.1 pounds = 3,620.07 total pounds of corn

(METRIC: 525.2 liters * 3.13 kg = 1,642 kg)

You will need to plant a little more than a half an acre of corn to produce enough ethanol to fuel your trip.

If you think you would save any money by using ethanol, guess again. Ethanol is expensive to process. According to the research from Cornell, you need about 140 gallons (530 liters) of fossil fuel to plant, grow and harvest an acre of corn. So, even before the corn is converted to ethanol, you're spending about $1.05 per gallon.

"The energy economics get worse at the processing plants, where the grain is crushed and fermented," reads the Cornell report. The corn has to be processed with various enzymes; yeast is added to the mixture to ferment it and make alcohol; the alcohol is then distilled to fuel-grade ethanol that is 85- to 95-percent pure. To produce ethanol that can be used as fuel, it also has to be denatured with a small amount of gasoline.

The final cost of the fuel-grade ethanol is about $1.74 per gallon. (Of course, a lot of variables go into that number.) The average price for a gallon of gas in the United States is about $1.40 as of August 9, 2001, according to GasPriceWatch.com.